Sudut sepi Gereja Singki’ Pangrante
Senja telah turun. Matahari yang seharian lelah menerpa bumi, hampir terbenam di balik kaki langit. Yang tersisa hanya sinarnya berwarna merah darah yang terpancar ke seluruh jagat raya. Di atas horison sana, sepasang burung elang terbang melayang mengikuti arah mata angin. Ke utara. Senja itu kuresapi dalam-dalam. Ada sepenggal kerinduan tertinggal di sini. Di sebuah sudut sepi Gereja Singki’ Pangrante. “Betulkah engkau akan berangkat pergi Mirren”?tanyaku pada gadis yang dari tadi duduk di sampingku “Ya” jawabnya singkat “Kenapa kau memutuskan untuk pergi Mirren,apakah kau tak memperdulikan aku lagi”?tanyaku lagi sambil memandang wajahnya “Tidak Roy,aku bukannya tidak peduli lagi terhadapmu,tapi…tapi….aku tak sanggup melawan keputusan kaka’ku”? Dia diam. Sejenak ia memandang ke arahku. Matanya tampak berkaca-kaca. Di wajahnya yang teduh itu, kulihat ada beban derita yang berat sedang ia pikul. Bibirnya bergetar. Titik air yang berkumpul di kelopak matanya yang bening itu, akhirnya jatuh. Membasahi pipinya, membentuk aliran kecil yang menganak sungai.
Dia menangis. Ada perasaan bersalah ketika aku melihatnya menangis. Secepat itu kuhapus bening airmata yang membasahi pipinya. Sementara, didalam gereja terdengar dentingan suara piano,melantunkan lagu – lagu Natal yang meriah.Tapi tak mampu juga mengubah suasana hati kami saat itu. “Mirren , maafkan. Aku tak bermaksud membuat kau berduka,” kataku merasa bersalah. “Tidak, Roy.Kamu tidak salah”. Tiba-tiba gadis itu menggenggam erat jemariku,tapi tak bersuara sedikit pun,hanya isak tangisnya yang terdengar dan tatapan mata sendunya yang terus mengarah kepadaku.Akupun tak kuasa melihatnya sehingga tatapanku ku arahkan ke langit. “Aku benci dengan keputusan kakakku!” tiba – tiba dia bicara “Tak baik kau berkata begitu, Mirren,” ujarku menenangkannya. “ Aku tak sudi dinikahkan dengan orang yang tak kucintai!” Tangisnya semakin menjadi -jadi. Kedua tangannya ia katupkan ke wajahnya. Dadanya bergemuruh. Tubuhnya yang mungil berguncang-guncang menahan sesegukan.Akupun tak kuasa melihatnya begitu.Akhirnya kuraih kepalanya dan kusandarkan pada dadaku. Kubelai lembut rambutnya yang wangi sampai ia kembali tenang dan tak menangis lagi Besok paginya ia kuantar ke Statiun Bus Litha & Co. Akhirnya ia pergi juga. Ke Makassar menemui kakaknya yang telah mengekang masa depannya. Kuliahnya yang tinggal satu semester, terpaksa ia tinggalkan. Semuanya, semata-mata menuruti kehendak kakaknya. Sebelumnya, aku sempat berbincang-bincang dengan kakak perempuannya yang. Pada kakaknya, aku minta maaf telah mengganggu perasaan gadis itu, dan mengharap Mirren tidak menghentikan kuliahnya. Sebab, bagiku, Mirren adalah gadis yang cerdas. Sayang masa depannya harus ia korbankan hanya karena kesalah pahaman ini. Kakaknya di Makassar tak merestui hubungan kami. Mirren harus menikah dengan lelaki sekampungnya. Dan, itu yang tidak Mirren suka. Gadis itu dan aku telah menjalin hubungan kasih setahun lalu. Orangtuanya di kampung merestui. Kecuali kakaknya di Makassar yang memang tidak kukenal. “Roy, aku pergi. Aku segera menyelesaikan masalah ini. Dan berjanjilah, nantikan aku di kota ini,” ucap gadis itu menjelang keberangkatannya sambil menyapu airmata. Aku hanya diam. Kami bersalaman dan ia menggenggam kuat tanganku sambil menghunjamkan pandangan tajam ke wajahku. Ada suatu pengharapan terlihat. Aku pun melepas kepergiannya. Aku tak tahu apakah harapan itu akan semu. MALAM itu ia kirimkan kabar lewat telepon aku kaget ketika telepon berdering dan ternyata suara Mirren. Ia mengabarkan keadaannya sejak seminggu di Makassar. Namun keinginan kakaknya, ia tidak memastikan kapan bisa pulang. Dan ia berjanji akan menghubungi aku terus lewat telefon. “Maafkan aku, Roy. Kau harus bersabar menanti kepulanganku. Tapi aku janji akan tetap menjaga hubungan kita,dan aku tetap akan menghubungimu”.Katanya di balik telefon di seberang sana.Tapi setelah beberapa bulan,tak ada kabar lagi darinya. “Roy, Mirren akan menikah. Semalam ia menelepon ke rumah. Menitipkan salam buatmu dan meminta maaf karena telah menyakiti hatimu. Ia terpaksa menuruti kehendak kakaknya yang keras kepala. Itu ia lakukan demi orang tua dan adik- adiknya di kampung yang masih mengharapkan kiriman uang dari kakaknya.” Kabar itu bagai suara petir. Kabar yang disampaikan Amelia, sahabat Mirren seperti kuragukan. Namun Amelia, tak mungkin berbohong kepada diriku. “Kau jangan main – main Mel,kamu tahu kan Mirren sangat sayang padaku,jadi tak mungkin ia mengkhianati cinta kami”.Kataku kepada Amel “Buat apa aku bohong Roy,gak ada gunanya,jawabnya. Lama aku terpekur memandang kosong ke lantai ubin rumahku,aku terus menatap lantai itu sambil terus berharap,lantai itu berbicara kalau berita itu bohong. Membawa birahi alam yang membuncah di hatiku. Akupun segera keluar dari rumahku.Membawa langkah – langkahku menuju ke Gereja tempat terakhir kali kami berbicara. Satu demi satu memoryku memunculkan kenangan ke masa silam. Ketika hari-hari bersama gadis itu masih. “Roy,kalau kita nanti jadi nikah,kamu maunya pesatanya kayak gimana!” kata gadis itu sambil menggenggam jemariku “Aku maunya biasa aja,yang penting di alam terbuka!” kataku sambil menatap wajahnya “Kok di alam terbuka,kenapa gk di dalam gedung aja”,katanya lagi “Karena aku pengen alam dan segala isinya,serta langit dan bintang – bintang menyaksikan dua anak manusia bersatu karena sebuah anugerah cinta yang mereka miliki”,jawabku sambil mengelus pipinya yang halus. Matahari pun kini mulai tak nampak,hanya meninggalkan berkas sinarnya yang berwarna merah di ufuk barat sana. Hatiku kini dingin sekaligus pedih Pandanganku masih menerawang nun jauh ke sana, membayangkan sebuah wajah seorang gadis yang pernah menghias hari – hariku sekaligus wajah yang telah meninggalkan duka di hatiku.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Post a Comment